Total Pageviews

Tuesday, October 14, 2008

GadO-GadO

SARUNG OH SARUNG


Sarung sering dikaitkan dengan ibadah mahdah. Katanya sih, pria yang bersarung itu kebanyakan adalah orang yang rajin sholat,mengaji, dan tentunya alim.

Benda yang satu ini memang punya banyak kenangan dalam hidup saya. Dulu, sewaktu masih imut saya memang senang memakai sarung ketika lebaran. Apalagi sarungnya masih baru dan licin (he he). Tapi setelah menginjak bangku SD/MDA saya jadi malas menggunakan sarung untuk sholat. Selain tidak terlalu pandai melipat sarung juga karena waktu itu saya lebih sering memakai celana panjang (celana saya kebanyakan celana panjang). Saya tidak pernah memakai celana pendek kecuali saat sekolah pagi. Mungkin saya pantas dijuluki “trouser-boy” karena selalu bercelana panjang padahal masih anak-anak waktu itu.


Seiring berjalannya waktu, saya jadi sangat “anti sarung”. Didalam kepala saya terbentuk sugesti bahwa sarung itu sangat ribet, tidak nyaman dan saya tidak suka. Selama lima tahun (kelas 1-5 SD) sarung-sarung saya nyaris tak tersentuh. Bahkan ketika ketika di MDA diadakan praktek sholat yang mengharuskan semua murid putranya bersarung, saya tetap tidak bersarung. Agak malu juga sih ketika saya harus berpenampilan berbeda (bercelana panjang) sementara lainnya memakai sarung. Untungnya ada satu lagi temanku yang “menemani”. Tetapi bukannya dia berprinsip sama denganku , melainkan dia lupa membawa sarung pada hari itu.

Tiba-tiba pada pertengahan kelas 5 SD selama sebulan saya diharuskan bersarung ria 24 jam nonstop. Mulai pagi hari ketika sekolah sampai tidurpun sarung tak pernah lepas. Lho??! Jangan kaget, tindakan ekstrim ini memang saya lakukan tak lain tak bukan karena saya baru menjalankan salah satu sunnah Rasulullah, yaitu berkhitan. Dalam bahasa Jawa disebut “sunatan”. Di daerah saya, Tegal ada mitos “sunatan” yang sangat aneh sekaligus lucu. Konon katanya apabila si anak yang baru dikhitan ingin cepat sembuh, maka dia harus mengerudungkan sarung yang dipakai ke kepala anak perempuan. Terdengar konyol memang, tetapi ada saja anak bengal yang mempraktekkanya. Kami yang melihat hanya bisa terbahak-bahak ketika “si korban” menjerit histeris setelah disergap “sangkar burung” secara tiba-tiba.
 

Sembuh dari khitanan saya kembali “anti sarung”. Meski sarung saya sudah melekat berhari-hari lamanya. Saya juga tidak peduli dengan kenyataan bahwa sarung saya bertambah, hadiah dari para tamu sewaktu hajatan. Tentu saja ibu bertambah-tambah ngocehnya melihat sikap saya yang menelantarkan banyak sekali sarung-sarung baru saya yang indah.

Ketika HUT kemerdekaan, sudah menjadi tradisi anak-anak di sekolah dasar saya berkarnaval dengan berbagai kostum. Ndilalah, saya malah kebagian jatah kostum menjadi “haji” yang harus memakai baju koko, bersarung, lengkap dengan pecinya. “Wah, sudah jatuh tertimpa tangga”, pikir saya waktu itu. Saya harus memakai pakaian yang membuat saya tidak nyaman dan tidak percaya diri. Yaitu sarung,baju koko dan peci. Pas hari H, berkali-kali saya gagal melipat sarung dengan rapi. Setelah hampir putus asa akhirnya ibu menyarankan untuk memberi peniti pada lipatan sarung saya agar terlihat rapi. Konyol ya?. Sampai sekarang saya masih suka tersenyum sendiri apabila mengingat insiden kecil itu.
 

Kejadian unik tidak berhenti disitu. Ceritanya ketika kelas enam, saya ditunjuk untuk mewakili SD saya (SDN Ketileng 01) dalam lomba di Departemen Agama se-Kecamatan. Ketika sesi penilaian sholat, semua peserta putra memakai sarung. Eiit, tapi jangan salah sangka! Kali ini saya terpaksa memakainya. Anehnya , wakil dari SD tetangga (SDN Ketileng 02) malahan sendirian bercelana panjang. Saya jadi teringat ulahku dulu saat praktek sholat di MDA. Saya pikir itu cukup memalukan (he he). 

Semenjak masuk SMP, yang kala itu berangkat siang hari. Mau tidak mau saya harus memakai sarung untuk dapat menjalankan sholat ashar di mushola sekolah (tidak lazim memakai celana panjang diatas celana pendek). Eh.. lambat laun saya jadi terbiasa dan malahan jatuh cinta dengan sarung saya. Sampai-sampai (jika malam) kemanapun saya selalu bersarung . Ya, sekalian menunggu waktu sholat isya. Bahkan ketika bercelana panjangpun saya bela-belain celana saya dilipat-lipat untuk bisa dipakaikan sarung. Kalau dipikirkan, aneh juga rasanya. Ketika SD saya selalu menghindari sarung, eh pas SMP malah tidak pernah melepas sarung yang saya pakai. Benar-benar berubah 180 derajat. Ajaib!

Kini selepas tamat SMA, sarung dan baju muslim hampir tidak terpisahkan dalam setiap kegiatan keagamaan saya. Hanya peci yang saat ini masih “anti”. Tetapi akhir-akhir ini teman baik saya, Woyo sering mengajak saya untuk mengikuti pengajian di pondok pesantren di daerah saya yang “mewajibkan” santrinya memakai peci. Wah, bisa jadi ini awal saya untuk berpeci?

Kalau boleh dikatakan, sarung itu identitas “pria muslim”(muslimin) Indonesia seperti kerudung pada muslimah. Dan memang kenyataannya nyaris hanya pria muslimlah yang bersarung. Ditambah lagi para cendekiawan muslim mengatakan sarung itu lebih bisa menutupi aurat laki-laki dibanding celana pantalon yang notabene berasal dari barat. Namun bukan berrti Islam melarang pemakaian celana lho. Hukumnya mubah (diperbolehkan). Ya, semoga dengan berpakaian lebih islami, menjadiakan jiwa saya lebih bisa memahami Islam. Jangan sampai hanya memakai sarungnya saja tetapi ibadahnya ditinggalkan.

Charity for blog development

Bagi yang ingin menyisihkan sebagian rezekinya untuk pengembangan blog ini, silahkan kirim ke rek BNI Cab. Semarang 0162468167
atas nama Muhamad Taufik Hidayat . Terimakasih. ;-)